 |
Source: Goodreads |
Membaca
adalah sebuah hobi yang universal. Meski jenis ataupun tipe cerita dari sebuah
buku yang disukai berbeda-beda, intinya tetap satu, membaca. Saya pribadi
memiliki kecenderung untuk lebih memilih membaca buku atau novel yang bertemakan
sejarah, konspirasi, detektif, dan juga roman. Hal yang biasanya saya lihat
dari sebuah buku / novel adalah judul, sampul muka / cover, baru kemudian sinopsis
dan alur cerita. Belakangan ini saya sedang menggandrungi novel karya Tere Liye. Sudah
lumayan banyak novel karya beliau yang saya beli, baca dan kemudian saya
koleksi. Salah satunya adalah novel berjudul Rindu. Novel ini sebenarnya sudah
diterbitkan sejak tahun 2014, namun saya pribadi baru menyempatkan diri untuk
membelinya di bulan May lalu. Sengaja saya beli sebagai teman untuk perjalanan
saya mudik lebaran nanti. Novel ini rupanya adalah karya Tere Liye yang-20,
dimana hal ini menunjukan betapa produktifnya beliau selama ini. Lalu, berkisah
tentang apa sebenarnya novel ini? Dan apa yang membuatnya spesial sehingga
harus saya beli dan baca?
Merujuk
kepada judul novelnya, Rindu, mengisahkan tentang lima kisah, lima karakter,
yang dipersatukan dalam sebuah perjalanan panjang mengantakan para jemaah haji
Indonesia. Mengambil latar waktu tahun 1938, dengan lokasi utama di sebuah kapal
uap bernama Blitar Holland. Penulisannya sendiri menggunakan alur maju yang
memudahkan kita sebagai pembaca untuk mengikuti jalan cerita yang ada. Adapun tokoh
utamanya ada Daeng Andipati, Ahmad Karaeng yang dipanggil Gurutta, Mbah Kakung
dan Mbah Putri Slamet, Ambo Uleng, Bonda Upe, Kelimanya hadir membawa
pertanyaannya masing-masing namun disatukan dalam satu tali benang merah yang
sama, kerinduan.
Daeng
Andipati, sosok sempurna dari seorang kepala keluarga, seorang ayah dari dua
yang menggemaskan, Anna & Elsa, ataupun sebagai pribadi yang memiliki karir
bisnis yang menjanjikan. Namun dibalik itu semua, ia menyimpan kebencian yang
teramat dalam terhadap ayahnya sendiri. Begitu besarnya rasa benci yang ia
miliki, sehingga mampu membuat kehidupan yang ia jalani dan miliki tampak
seolah tak berarti. Disini, Tere Liye mampu menghadirkan ironi yang getir
tentang bagaimana rasa benci justru hadir dari dua orang yang terikat dalam
ikatan darah yang seharusnya saling mencintai.

Gurutta,
tokoh ulama berilmu dan beradab ini adalah kunci jawaban dari hampir semua
pertanyaan yang hadir dalam novel ini. Digambarkan sebagai sosok yang bersahaja,
rendah hati, ramah, terbuka, berbaur dengan siapapun bahkan dengan anak-anak
sekalipun, seperti dengan Anna & Elsa. Meski dikatakan mampu menjawab
setiap pertanyaan yang diberikan, sejatinya, Gurutta pun memiliki pertanyaannya
sendiri. Sebuah pertanyaan yang begitu mengusik batinnya setiap waktu.
Pertanyaan besar tentang cinta hadir
melalui kisah romantis antara Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Sepasang pasutri
sepuh dari Semarang. Kehadiran sepasang tokoh ini membuat saya terenyuh, bahkan
mampu membuat angan saya tanpa sadar berdoa lirih, berharap bisa mendapatkan
pasangan dan menjalani kehidupan rumah tangga seperti mereka. Berikut adalah
contoh kutipan dialog yang sukses membuat saya haru.
“Pendengaranku memang sudah tidak bagus
lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus
kuakui itu. Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku
melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu
indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)
Gejolak dan pertanyaan tentang kebencian,
takdir, dan cinta sudah diuraikan diatas, lalu pertanyaan apalagi yang
dikisahkan di novel ini? Tokoh utama berikutnya adalah Ambo Uleng. Seorang kelasi
pendiam dengan hobi berdiam diri sambil menatap jendela bundar di kabin. Membawa
pertanyaan tentang takdir, Ambo uleng hadir dengan gambaran sifat baik yang
patut diteladani. Salah satunya adalah kemauannya untuk belajar mengaji yang
mana dalam novel ini dikisahkan ia belajar kepada Anna, yang merupakan seorang
anak kecil. Ambo Uleng adalah kunci jawaban atas pertanyaan terakhir yang tak
bisa dijawab oleh Gurutta.
Terakhir, Bonda Upe, hadir membawa
masa lalu untuk dipertanyakan. Sebuah pergolakan batin yang terangkum apik
sehingga mampu membuat saya turut serta merasakan kegelisahan yang sama dengan
tokoh ini. Kisah Bonda Upe menunjukkan dan mengajak saya untuk tetap percaya
bahwa akan selalu ada seseorang yang hadir dan tidak menyerah untuk tulus mencintai
dan menyayangi kita, seburuk apapun masa lalu yang pernah dijalani.
“Dia tulus menyemangatimu, tulus
mencintaimu. Padahal, dia tahu persis kau seorang cabo. Sedikit sekali
laki-laki yang bisa menyayangi seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia
menerima kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski
kau telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti. (hal. 312-313).
Saya
menyelesaikan membaca novel ini didalam perjalanan pulang ke kampung halaman. Tanpa
saya sadari, beberapa bagian dialog di novel ini sukses membuat saya meneteskan
air mata karena terharu, tersadar. Bahwa novel ini, bukan hanya sekedar cerita
tentang perjalanan ke Tanah Suci. Akan tetapi, hadirnya kelima pertanyaan dalam
novel inilah yang mampu membuat saya kembali merenungi dan memiliki pemahaman
baru tentang arti pulang, arti cinta, arti hidup, dan belajar tentang bagaimana
seharusnya menyikapi sebuah masa lalu. Terimakasih Tere Liye, novel ini buat
saya pribadi adalah yang paling berkesan. Sukses dan teruslah berkarya. 😊